Rabu, 04 Mei 2016


Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI, 2004). Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Dalam meningkatkan kualitas pelayanan farmasi yang berasaskan pharmaceutical care di Apotek, Puskesmas, atau Rumah Sakit dibutuhkan tenaga apoteker yang profesional. Dengan menetapkan Standar Pelayanan Kefarmasian bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dari pelayanan farmasi. Standar ini agar disosialisasikan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Namun dewasa ini penggunaan obat yang rasional tidak bisa terealisasi dengan maksimal dikarenakan masih banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah keterbatasan informasi yang diperoleh pada saat pasien datang ketempat pelayanan farmasi. Pasien datang ketempat pelayanan farmasi sering kali lupa akan terapi obat yang sudah pernah di jalani oleh pasien. Maka dari itu pembuatan kartu catatan obat menjadilah salah satu yang sangat penting. Berikut adalah pemaparan admin mengenai Kartu Catatan Obat.

Apa itu Kartu Catatan Obat?


Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
Kartu Catatan Obat adalah keterangan baik yang tertulis maupun terekam tentang identitas, dan terapi pengobatan yang pernah dilakukan oleh pasien. Catatan penggunaan obat  dari pelayanan kefarmasian yang diberikan apoteker.Kartu Catatan Obat mempunyai pengertian tidak hanya sekedar kegiatan pencatatan, akan tetapi mempunyai pengertian sebagai suatu sistem penyelenggaraan rekam obat pasien yaitu mulai pencatatan selama pasien mendapatkan pelayanan medis, hingga monitoring terapi obat pasien.

Bagaimana sih bentuk dan isinya?


Untuk bentukda isinya apa aja, mimin akan coba nyontohin dengan gambar tabel seperti di bawah ini :
Contoh Tabel Catatan Obat

Trus maanfaatnya apa?

Kartu Catatan Obat memiliki manfaat untuk membantu apoteker mendeteksi pencegahan adanya problem drug-related.  bagian dari asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) yang menggambarkan suatu keadaan, dimana profesional kesehatan (apoteker) menilai adanya ketidaksesuaian pengobatan dalam mencapai terapi yang sesungguhnya (Hepler, 2003) DRP dibagi menjadi 2 : actual dan potensial, DRP actual adalah masalah yang terjadi seketika saat pasien menggunakan obat (misalkan alergi dll), dan DRP potensial adalah masalah yang akan terjadi pada saat setelah penggunaan obat (misalnya kerusakan hati, ginjal, dsb).

Ada 8 jenis Drug Related Problem, yaitu :
1. Indikasi yang tidak ditangani (Untreated Indication)
Ada indikasi penyakit/keluhan pasien yang belum ditangani dalam resep tersebut, misalnya pasien mengeluh nyeri di persendian, sedang dalam resep tersebut tidak ada obat untuk mengatasi masalah nyeri tersebut.
2. Pilihan Obat yang Kurang Tepat (Improper Drug Selection)
Pemilihan obat dalam resep kurang tepat (salah obat) dan beresiko, misalnya pasien demam dikasih antibiotik rifampisin, ini jelas pemilihan bat salah. atau obat yang dipilih memiliki kontraindikasi atau perhatian (caution) terhadap pasien.
3. Penggunaan Obat Tanpa Indikasi (Drug Use Without Indication)
Obat yang ada dalam resep, tidak sesuai dengan indikasi keluhan penyakit pasien.
4. Dosis Terlalu Kecil (Sub-Therapeutic Dosage)
Dosis obat yang diberikan dalam dosis tersebut terlalu kecil, sehingga efek terapi tidak memadai untuk mengobati penyakit pasien.
5. Dosis Terlalu Besar (Over Dosage)
Dosis yang diberikan dalam resep terlalu besar, diatas dosis maksimum, hal ini dapat berakibat fatal.
6. Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (Adverse Drug Reactions)
Obat yang diberikan memberikan efek samping yang memberatkan kondisi pasien, misalnya captopril menyebabkan batuk yang mengganggu (efek samping ini tidak selalu terjadi, karena sensitifitas setiap orang berbeda-beda).
7. Interaksi Obat (Drug Interactions)
Obat-obatan dalam resep saling berinteraksi seperti warfarin dan vitamin K bersifat antagonis, atau obat dengan makanan semisal susu dan tetrasiklin membentuk khelat/kompleks yang tidak bisa diabsorpsi.
8. Gagal Menerima Obat (Failure to receive medication)
Obat tidak diterima pasien bisa disebabkan tidak mempunyai kemampuan ekonomi, atau tidak percaya dan tidak mau mengkonsumsi obat-obatan. atau bisa juga disebabkan obat tidak tersedia di apotek sehingga pasien tidak dapat memperoleh obat.

Dengan adanya DRP diharapkan seorang apoteker menjalankan perannya dengan melakukan screening resep untuk mengetahui ada atau tidaknya DRP, serta melakukan konseling pada pasien tersebut agar masalah terkait penggunaan obat dapat diatasi dan pasien dapat mengerti tentang pengobatannya yang bermuara pada meningkatnya kepatuhan pasien dalam pengobatan yang teratur. Pencatatan obat jadi sangat penting karena sangat membantu sekali dalam penggunaan obat yang rasional.


Adeprima Adiluhur Md

1508526005

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. (2004). Keputusan Menkes RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Helper, D.D., and Strand, L. M. 2003. Opportunities and Responsibilities in Pharmacetical Care. 53, 7S-15S(1989).


Penggolongan obat menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000 dilakukan atas dasar untuk meningkatkan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi obat dan memudahkan di dalam pengawasan, penggunaan dan pemantauan obat. Penggolongan obat ini terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika. Berikut merupakan penggolongan obat berdasarkan keamanan (Permenkes No. 725a/1989) yaitu:
1.  Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas kepada umum di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter dan sudah terdaftar di Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Berdasarkan Keputusan SK Menkes RI Nomor 2380/A/SK/VI/1983 tentang tanda khusus untuk obat bebas yaitu berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Obat golongan ini termasuk obat yang paling relatif aman, selain di apotek juga dapat diperoleh di warung-warung. Contoh dari obat bebas adalah Parasetamol, Vitamin-C, Asetosal (aspirin), Antasida Daftar Obat Esensial (DOEN), dan Obat Batuk Hitam (OBH). Simbol untuk obat bebas yaitu: 
Penandaan Obat Bebas


2.  Obat Bebas Terbatas
     Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa resep dokter, tapi disertai dengan tanda peringatan. Obat golongan ini juga relatif aman selama pemakaiannya mengikuti aturan pakai yang ada. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan obat-obatan ke dalam daftar obat “W” (Waarschuwing) memberikan pengertian obat bebas terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan kepada pemakainya tanpa resep dokter, bila penyerahannya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1.  Obat tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan asli dari pabriknya atau pembuatnya.

2.  Pada penyerahannya oleh pembuat atau penjual harus mencantumkan tanda peringatan. Tanda peringatan tersebut berwarna hitam, berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih. Berikut merupakan peringatan yang terdapat pada obat bebas terbatas yaitu:


Tanda khusus untuk obat bebas terbatas diatur berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2380/A/SK/VI/83 adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam. Sebagaimana obat bebas, obat ini juga dapat di apotek, toko obat atau di warung-warung. Contoh obat bebas terbatas adalah obat flu kombinasi (tablet), obat batuk yang mengandung antihistamin, Klotrimaleat (CTM), dan Mebendazol, dan lain-lain. Penandan obat bebas terbatas yaitu:
Penanda Obat Bebas 
Terbatas

3.  Obat Keras
     Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan/memasukkan obat-obatan ke dalam daftar obat keras, memberikan pengertian obat keras adalah obat-obat yang ditetapkan sebagai berikut :
1.  Semua obat yang pada bungkus luarnya oleh produsen disebutkan bahwa obat itu hanya boleh diserahkan denagn resep dokter.
2.  Semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk dipergunakan secara parenteral.
3.  Semua obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah dinyatakan secara tertulis bahwa obat baru itu tidak membahayakan kesehatan manusia.       
     Golongan ini pada masa penjajahan Belanda disebut golongan G (gevaarlijk) yang artinya berbahaya. Disebut obat keras karena jika pemakai tidak memperhatikan dosis, aturan pakai, dan peringatan yang diberikan, dapat menimbulkan efek berbahaya pada si pemakai. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter di apotek.

     Adapun penandaannya diatur berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 02396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda khusus Obat Keras daftar G adalah “Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan hurup K yang menyentuh garis tepi”. Contoh obat ini adalah Amoksilin, Asam Mefenamat, semua obat dalam bentuk injeksi, dan semua obat baru.
Penanda Obat keras 

4.  Obat Psikotropika
     Pengertian psikotropika menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif  pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.         Psikotropika dibagi menjadi :
-    Golongan I, sampai sekarang kegunaannya hanya ditujukan untuk ilmu pengetahuan, dilarang diproduksi dan digunakan untuk pengobatan.
     Contohnya: Metilen Dioksi Metamfetamin, Lisergid Acid Diathylamine (LSD), dan Metamfetamin.
-    Golongan II, III, dan IV dapat digunakan untuk pengobatan asalkan sudah didaftarkan. Namun, kenyataannya saat ini hanya sebagian dari golongan IV saja yang terdaftar dan digunakan, seperti Diazepam, Fenobarbital, Lorasepam, dan Klordiazepoksid.
     Untuk psikotropika penandaan yang dipergunakan sama dengan penandaan untuk obat keras, hal ini karena sebelum UU RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dibentuk, obat-obat psikotropika digolongkan ke dalam obat keras, hanya saja karena efeknya dapat mengakibatkan sidroma ketergantungan dan dapat mempengaruhi aktivitas psikis sehingga dulu disebut Obat Keras Tertentu. Penandaan psikotropika berupa lingkaran bulat berwarna merah, dengan huruf K berwarna hitam yang menyentuh garis tepi yang berwarna hitam seperti penandaan obat keras.

5. Obat Narkotika
     Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam golongan I, II dan III. Narkotika merupakan kelompok obat yang paling berbahaya karena dapat menimbulkan addiksi (ketergantungan) dan toleransi. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Karena berbahaya, dalam peredaran, produksi, dan pemakaiannya narkotika diawasi secara ketat. Contoh narkotika yaitu: Heroin, morfin, ovium, kodein, tanaman ganja.

     Penandaan untuk obat golongan narkotika yaitu lingkaran berwarna merah dengan tanda palang berwarna merah di dalamnya dengan warna dasar putih, seperti pada gambar berikut:
Penandaan Obat Golongan 
Narkotika


Ni Kadek Ari Cipta Pratiwi 

1508526006

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 725a/MENKES/SK/XI/1989 tentang Penilaian Kembali dan
Penarikan dari Peredaran Obat Jadi yang Beredar
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 02396/A/SK/VIII/1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras
Daftar G
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2380/A/SK/VI/1983





Tidak ada komentar:

Posting Komentar