![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEicFLyk955NO1By6uu2xr5NpoZs_fOPACJXZP607Jgxs8mn9-mN4fInF7jJ6c0ujVniJY9XjqWvjD7adJtTldkUG4uhDrNorCuVTB0gjyuokV-d_hSwk7nezDRC-JXgnkkxXd8rS8E2itE/s320/apotek-dan-apoteker.jpg)
Pelayanan kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI, 2004). Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Dalam meningkatkan kualitas pelayanan farmasi yang berasaskan pharmaceutical care di Apotek, Puskesmas, atau Rumah Sakit dibutuhkan tenaga apoteker yang profesional. Dengan menetapkan Standar Pelayanan Kefarmasian bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dari pelayanan farmasi. Standar ini agar disosialisasikan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Namun dewasa ini penggunaan obat yang rasional tidak bisa terealisasi dengan maksimal dikarenakan masih banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah keterbatasan informasi yang diperoleh pada saat pasien datang ketempat pelayanan farmasi. Pasien datang ketempat pelayanan farmasi sering kali lupa akan terapi obat yang sudah pernah di jalani oleh pasien. Maka dari itu pembuatan kartu catatan obat menjadilah salah satu yang sangat penting. Berikut adalah pemaparan admin mengenai Kartu Catatan Obat.
Apa itu Kartu Catatan Obat?
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
Kartu Catatan Obat adalah keterangan baik yang
tertulis maupun terekam tentang identitas, dan terapi pengobatan yang
pernah dilakukan oleh pasien. Catatan penggunaan obat dari pelayanan kefarmasian
yang diberikan apoteker.Kartu Catatan Obat mempunyai pengertian tidak
hanya sekedar kegiatan pencatatan, akan tetapi mempunyai pengertian
sebagai suatu sistem penyelenggaraan rekam obat pasien yaitu mulai
pencatatan selama pasien mendapatkan pelayanan medis, hingga monitoring terapi
obat pasien.
Bagaimana sih bentuk dan isinya?
Untuk bentukda isinya apa aja, mimin akan coba nyontohin dengan gambar tabel seperti di bawah ini :
![]() |
Contoh Tabel Catatan Obat |
Trus maanfaatnya apa?
Kartu
Catatan Obat memiliki manfaat untuk membantu apoteker mendeteksi pencegahan adanya problem
drug-related. bagian dari asuhan kefarmasian (pharmaceutical care)
yang menggambarkan suatu keadaan, dimana profesional kesehatan (apoteker)
menilai adanya ketidaksesuaian pengobatan dalam mencapai terapi yang
sesungguhnya (Hepler, 2003) DRP dibagi menjadi 2 : actual dan potensial,
DRP actual adalah masalah yang terjadi seketika saat pasien menggunakan obat
(misalkan alergi dll), dan DRP potensial adalah masalah yang akan terjadi pada
saat setelah penggunaan obat (misalnya kerusakan hati, ginjal, dsb).
Ada 8 jenis Drug Related
Problem, yaitu :
1. Indikasi yang tidak
ditangani (Untreated Indication)
Ada indikasi
penyakit/keluhan pasien yang belum ditangani dalam resep tersebut, misalnya
pasien mengeluh nyeri di persendian, sedang dalam resep tersebut tidak ada obat
untuk mengatasi masalah nyeri tersebut.
2. Pilihan Obat yang
Kurang Tepat (Improper Drug Selection)
Pemilihan obat dalam resep
kurang tepat (salah obat) dan beresiko, misalnya pasien demam dikasih
antibiotik rifampisin, ini jelas pemilihan bat salah. atau obat yang dipilih
memiliki kontraindikasi atau perhatian (caution) terhadap pasien.
3. Penggunaan Obat Tanpa
Indikasi (Drug Use Without Indication)
Obat yang ada dalam resep,
tidak sesuai dengan indikasi keluhan penyakit pasien.
4. Dosis Terlalu Kecil
(Sub-Therapeutic Dosage)
Dosis obat yang diberikan
dalam dosis tersebut terlalu kecil, sehingga efek terapi tidak memadai untuk
mengobati penyakit pasien.
5. Dosis Terlalu Besar
(Over Dosage)
Dosis yang diberikan dalam
resep terlalu besar, diatas dosis maksimum, hal ini dapat berakibat fatal.
6. Reaksi Obat Yang Tidak
Dikehendaki (Adverse Drug Reactions)
Obat yang diberikan
memberikan efek samping yang memberatkan kondisi pasien, misalnya captopril
menyebabkan batuk yang mengganggu (efek samping ini tidak selalu terjadi,
karena sensitifitas setiap orang berbeda-beda).
7. Interaksi Obat (Drug
Interactions)
Obat-obatan dalam resep
saling berinteraksi seperti warfarin dan vitamin K bersifat antagonis, atau
obat dengan makanan semisal susu dan tetrasiklin membentuk khelat/kompleks yang
tidak bisa diabsorpsi.
8. Gagal Menerima Obat
(Failure to receive medication)
Obat tidak diterima pasien
bisa disebabkan tidak mempunyai kemampuan ekonomi, atau tidak percaya dan tidak
mau mengkonsumsi obat-obatan. atau bisa juga disebabkan obat tidak tersedia di
apotek sehingga pasien tidak dapat memperoleh obat.
Dengan adanya DRP
diharapkan seorang apoteker menjalankan perannya dengan melakukan screening
resep untuk mengetahui ada atau tidaknya DRP, serta melakukan konseling pada
pasien tersebut agar masalah terkait penggunaan obat dapat diatasi dan pasien
dapat mengerti tentang pengobatannya yang bermuara pada meningkatnya kepatuhan
pasien dalam pengobatan yang teratur. Pencatatan obat jadi sangat penting
karena sangat membantu sekali dalam penggunaan obat yang rasional.
Adeprima Adiluhur Md
1508526005
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (2004). Keputusan Menkes RI No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Helper, D.D., and Strand, L. M. 2003. Opportunities and Responsibilities in Pharmacetical Care. 53, 7S-15S(1989).
Penggolongan
obat menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
949/Menkes/Per/VI/2000 dilakukan atas dasar untuk meningkatkan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi obat dan memudahkan di dalam
pengawasan, penggunaan dan pemantauan obat. Penggolongan obat ini terdiri dari
obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika.
Berikut merupakan penggolongan obat
berdasarkan keamanan (Permenkes No. 725a/1989) yaitu:
1. Obat
Bebas
Obat
bebas adalah obat yang dijual bebas kepada umum di pasaran dan dapat dibeli
tanpa resep dokter dan sudah terdaftar di Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Berdasarkan Keputusan SK Menkes RI Nomor 2380/A/SK/VI/1983 tentang
tanda khusus untuk obat bebas yaitu berupa lingkaran hijau dengan garis tepi
berwarna hitam. Obat golongan ini termasuk obat yang paling relatif aman, selain
di apotek juga dapat diperoleh di warung-warung. Contoh dari obat bebas adalah
Parasetamol, Vitamin-C, Asetosal (aspirin), Antasida Daftar Obat Esensial
(DOEN), dan Obat Batuk Hitam (OBH). Simbol untuk obat bebas yaitu:
2. Obat
Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual
bebas dan dapat dibeli tanpa resep dokter, tapi disertai dengan tanda
peringatan. Obat golongan ini juga relatif aman selama pemakaiannya mengikuti
aturan pakai yang ada. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang menetapkan
obat-obatan ke dalam daftar obat “W” (Waarschuwing) memberikan pengertian obat
bebas terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan kepada pemakainya tanpa
resep dokter, bila penyerahannya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Obat
tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan asli dari pabriknya atau
pembuatnya.
2. Pada
penyerahannya oleh pembuat atau penjual harus mencantumkan tanda peringatan.
Tanda peringatan tersebut berwarna hitam, berukuran panjang 5 cm, lebar 2 cm
dan memuat pemberitahuan berwarna putih. Berikut merupakan peringatan yang
terdapat pada obat bebas terbatas yaitu:
Tanda khusus untuk obat bebas terbatas diatur berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 2380/A/SK/VI/83 adalah lingkaran berwarna
biru dengan garis tepi hitam. Sebagaimana obat bebas, obat ini juga dapat di
apotek, toko obat atau di warung-warung. Contoh obat bebas terbatas adalah obat
flu kombinasi (tablet), obat batuk yang mengandung antihistamin, Klotrimaleat
(CTM), dan Mebendazol, dan lain-lain. Penandan obat bebas terbatas yaitu:
Penanda
Obat Bebas
Terbatas
3. Obat
Keras
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI yang
menetapkan/memasukkan obat-obatan ke dalam daftar obat keras, memberikan
pengertian obat keras adalah obat-obat yang ditetapkan sebagai berikut :
1. Semua
obat yang pada bungkus luarnya oleh produsen disebutkan bahwa obat itu hanya
boleh diserahkan denagn resep dokter.
2. Semua
obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk dipergunakan secara
parenteral.
3. Semua
obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah dinyatakan secara
tertulis bahwa obat baru itu tidak membahayakan kesehatan manusia.
Golongan ini pada masa penjajahan Belanda
disebut golongan G (gevaarlijk) yang artinya berbahaya. Disebut obat
keras karena jika pemakai tidak memperhatikan dosis, aturan pakai, dan
peringatan yang diberikan, dapat menimbulkan efek berbahaya pada si pemakai.
Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter di apotek.
Adapun penandaannya diatur berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 02396/A/SK/VIII/1986 tentang tanda khusus Obat Keras
daftar G adalah “Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna
hitam dengan hurup K yang menyentuh garis tepi”. Contoh obat ini adalah
Amoksilin, Asam Mefenamat, semua obat dalam bentuk injeksi, dan semua obat
baru.
Penanda
Obat keras
4. Obat
Psikotropika
Pengertian psikotropika menurut
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika adalah zat atau obat
baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Psikotropika dibagi menjadi :
- Golongan
I, sampai sekarang kegunaannya hanya ditujukan untuk ilmu pengetahuan, dilarang
diproduksi dan digunakan untuk pengobatan.
Contohnya:
Metilen Dioksi Metamfetamin, Lisergid Acid Diathylamine (LSD), dan
Metamfetamin.
- Golongan
II, III, dan IV dapat digunakan untuk pengobatan asalkan sudah didaftarkan.
Namun, kenyataannya saat ini hanya sebagian dari golongan IV saja yang
terdaftar dan digunakan, seperti Diazepam, Fenobarbital, Lorasepam, dan
Klordiazepoksid.
Untuk psikotropika penandaan yang
dipergunakan sama dengan penandaan untuk obat keras, hal ini karena sebelum UU
RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dibentuk, obat-obat psikotropika
digolongkan ke dalam obat keras, hanya saja karena efeknya dapat mengakibatkan
sidroma ketergantungan dan dapat mempengaruhi aktivitas psikis sehingga dulu
disebut Obat Keras Tertentu. Penandaan psikotropika berupa lingkaran bulat
berwarna merah, dengan huruf K berwarna hitam yang menyentuh garis tepi yang
berwarna hitam seperti penandaan obat keras.
5. Obat
Narkotika
Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan yang dibedakan kedalam golongan I, II dan III. Narkotika
merupakan kelompok obat yang paling berbahaya karena dapat menimbulkan addiksi
(ketergantungan) dan toleransi. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan resep dokter.
Karena berbahaya, dalam peredaran, produksi, dan pemakaiannya narkotika diawasi
secara ketat. Contoh narkotika yaitu: Heroin, morfin, ovium, kodein, tanaman
ganja.
Penandaan untuk obat golongan narkotika yaitu lingkaran berwarna
merah dengan tanda palang berwarna merah di dalamnya dengan warna dasar putih,
seperti pada gambar berikut:
Penandaan Obat Golongan
Narkotika
Ni Kadek Ari Cipta Pratiwi
1508526006
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 725a/MENKES/SK/XI/1989
tentang Penilaian Kembali dan
Penarikan dari Peredaran Obat Jadi yang Beredar
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
02396/A/SK/VIII/1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras
Daftar G
Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 2380/A/SK/VI/1983
Tidak ada komentar:
Posting Komentar